Gerak tubuh itu secara berirama dilakukan untuk keperluan mengungkapkan perasaan, maksud, dan pikiran.
Setelah kerap bekerja sama dalam pelbagai pentas, dua penari Siti “Ajeng” soelaeman (26) dan Andara “Anggie” Firman Moeis (24) akhirnya memutuskan untuk berkarya bersama. Pada awalnya, mereka menggarap kesamaan latar belakang mereka yang lahir dalam kelas menengah atas urban. Ide itu berkembang dengan terlibatnya beberapa seniman lain, antara lain Fitri Setyaningsih (koreografer), Yudi Ahmad Tajudin (dramaturg), Jecko Siompo (pembuat film). Hasil dari kolaborasi itu adalah dua karya yang terdiri dari sebuah nomer tari yang berjudul Shelf dan film tari eksperimental berjudul Underwater.
Seketika ruang Teater Salihara, Pasar Minggu, Minggu (09/05) malam lalu gelap gulita. Dihadapan penonton hanya terlihat layar putih besar berukuran 6x4 meter terpampang. Rupanya pentas tari ini diawali oleh pemutaran film Underwater karya Jacko Siompo. Suara riuh tepuk tangan penonton sambut menyambut seiring munculnya setitik cahaya yang menyinari layar putih besar tersebut.
Setengah jam telah berlalu, teater kembali gelap dan sunyi, namun sama sekali tidak menyiksa. Terdengar suara dentuman musik yang mengayun-ngayun, diiringi kembalinya cahaya menyinari ruang teater salihara. Tak beberapa lama muncul dua sosok wanita menggunakan gaun putih pendek dengan hiasan manik-manik berbentuk kupu-kupu besar.
“Anggie.. Ajeng..” suara riuh penonton memanggil ke dua penari itu. Kedua penari itu mulai bergerak berirama ke segala penjuru panggung mengikuti suara musik yang mengalun dengan penuh makna. Dengan dukungan properti panggung berupa 2 frame besar yang diletakkan di sisi kiri dan kanan panggung, serta 10 kubus yang digantung oleh seutas tali. Anggie dan Ajeng memainkan perannya masing-masing sebagai anak muda yang mempunyai kesungguhan dalam dunia seni tari. Sehingga membuat mata penonton tak berkedip menatap panggung.
Belum lagi aksi Anggie dan Ajeng yang menggunakan troli, meluncur ke setiap penjuru panggung, gulungan tisu yang terbang kesana kemari seakan-akan ikut menari mengikuti gerak Anggie dan Ajeng. “Ajeng dan Anggie telah melakukan perubahan besar, setelah terakhir kali melihatnya menari di kampus” tutur Soleman Korwa, teman Anggie dan Ajeng pada saat kuliah di IKJ jurusan seni tari..
Kesungguhan Anggie dan Ajeng di dunia seni tari
Shelf adalah pertunjukkan tari yang bercerita tentang Anggie dan Ajeng, dua penari muda yang telah bekerja dengan banyak koreografer terkemuka di lanskap seni pertunjukkan Indonesia. Lahir dan tumbuh di lingkungan kelas menengah atas Jakarta, keduanya adalah bagian dari lingkaran pergaulan anak muda yang merayakan hidup dengan ringan, riang, dan penuh pesta. Koreografi ini pun erat dengan atribut dan karakter anak gaul Jakarta selatan.
Sekilas, etos dan rujukan nilai utama mereka adalah bersenang-senang. Namun, berbeda dari pandangan umum generasi tua, koreografi ini menunjukkan bahwa having fun tidaklah bertentangan dengan pencarian estetis yang mensyaratkan kerja keras. Ajeng dan Anggie berhasil menjadi bagian dari penari-penari terdepan di Indonesia saat ini.
Ajeng dan Anggie mengundang Fitri Setyaningsih sebagai koreografer, ia adalah koreografer muda yang kerap mempertanyakan konvensi-konvensi tari dan berupaya mencari ‘tubuh’ tari yang lain. Hasilnya adalah Shelf, yang juga merupakan upaya Fitri melakukan interogasi dan negosiasi atas gagasan serta imajinasi tari yang selama ini dibentuk serta membentuk Ajeng dan Anggie sebagai penari.
Pentas tari ini didukung oleh Yudi Ahmad Tajudin sebagai dramaturg. Dramaturg adalah dimana orang melakukan drama untuk menyesuaikan dengan lingkungannya. Pentas tari ini juga menampilkan sebuah film tari eksperimental karya Jecko Siompo berjudul Underwater. Film ini bercerita tentang seorang anak berasal dari keluarga menengah atas yang terbentuk kepribadiannya dari bekal dan gaya yang diturunkan orang tuanya. Dan rumah itu adalah ruang, saksi, dalam perkembangan itu.
Akhir dari sebuah karya bersama
Satu setengah jam telah berlalu, setelah mata telah terbuai oleh indahnya sebuah tarian kontemporer yang disuguhkan. Maka tibalah akhir dari sebuah pertunjukkan tari eksperimental Anggie dan Ajeng. Suasana teater yang hening ketika pertunjukkan, tiba-tiba ramai oleh suara tepuk tangan penonton, ini merupakan tanda kepuasan penonton terhadap karya yang disuguhkan.
“Pada saat layar film mulai bercerita, saya asyik meraba-raba tanda, makna, simbolik semiotika, beberapa gagal namun beberapa juga tak gagal, setelah baca semacam rilisan persnya inilah saya tau apa yg sedang dipertunjukan, great show.” Ungkap Resky Okky (28), seorang penulis di sebuah situs web anak muda asal Jakarta. Ia bersama dua orang temannya Ara dan Astrid sedang asyik mewawancara Anggie dan Ajeng untuk keperluan mencari berita tentang yang muda yang berseni pada situs webnya.
Dalam kehidupan kesehariannya Ajeng dan Anggie adalah bagian dari lingkaran pergaulan anak muda Jakarta yang penuh dengan hidangan hiburan untuk bersenang-senang. Namun, mereka berdua tetap menunjukkan keseriusan dan kesungguhannya dalam berkarya di dunia seni tari Indonesia. Lain lagi pendapat dari Catelya (24), “saya sangat menikmati setiap kejutan dan setiap misteri dalam pemberian makna pada tarian tersebut, sebuah penggambaran keseharian yang sangat kompleks.
Indonesia harus bangga dengan Ajeng dan Anggie, karena masih ada segelintir anak muda yang serius menggeluti seni tari. Ajeng dan Anggie adalah dua penari muda yang lahir dan tumbuh di lingkungan kelas menengah ke atas di Jakarta, tetapi bukan berarti mereka tidak memiliki kesungguhan dalam berkarya. Lewat shelf, mereka menunjukkan kiprahnya di dunia seni tari Indonesia.
*sumber gambar dari pamflet acara salihara